Senin, 10 Februari 2014

ANGEL or DEVIL

“Do you believe in angels? Because if you do, they will protect you from any bad things that could happen to you.” 
 
Mandy terlonjak dari ranjangnya. Dadanya berdebar naik-turun. Kenapa mimpinya begitu aneh? Dia seperti berada di ruang kosong yang sekelilingnya berwarna putih dan ada suara-suara di ruangan itu. Tapi Mandy mengenali suara itu. Suara yang sangat sering terdengar ditelinganya.
 
Ken beranjak dari dalam rumah. Dia hanya mengenakan kaus oblong biru dan celana pendek. Rambutnya yang cepak masih terlihat basah karena baru saja dikeramas. Matanya tertuju pada rumah di sebelah kanannya. Tampak dua laki-laki kurus dengan tubuh penuh tato, keluar dari rumah bercat putih itu. Ken berdecak kesal, lalu segera bangkit dari duduknya di teras rumah dan bergegas menuju rumah tetangganya.

“Mandy.” panggil Ken. Langkah cewek itu spontan terhenti. Dia membalikkan badannya dan mendapati Ken yang sedang berdiri di depan pagar rumahnya.
“Tadi lo ngapain aja sama mereka? tanya Ken, terdengar posesif.
Maklum, sejak kedua orang tua Mandy menjadi amat-sangat sibuk bergelut dengan pekerjaan masing-masing, Ken lah yang menjadi body-guard sekaligus baby-sitter Mandy. Orang tua Chriztel tidak menitipkan Chriztel pada anak tetangga yang lebih tua tiga tahun dari putri mereka. Entah apa yang membuat orang tua Mandy begitu percaya pada Ken.

“None of your bussiness!” Mandy menjawab ketus. Lahir dan tinggal di London selama 8 tahun, membuat refleks bahasa yang terucap olehnya adalah bahasa inggris. Untung saja sejak SMA, nilai bahasa inggris Ken selalu memuaskan, sehingga tak sulit untuk berkomunikasi dengan cewek blasteran ini.

Jauh dalam lubuk hatinya, Mandy tak ingin menjawab seperti itu, tapi dia tidak punya pilihan lain selain berusaha sekeras mungkin menjauhi Ken.
“Ini udah keenam kalinya gue liat mereka keluar dari rumah lo. Sebenernya mereka siapa sih? Temen lo?” Ken masih bersikeras mencari tahu.
“Go away.” kata Mandy dingin, seraya kembali melangkah menuju pintu depan rumah.
Ken menggeleng mantap. “Jawab gue dulu. Mereka temen lo? They don’t seem nice, at all! You should stay away from them!” hardiknya.

Mandy membuka pintu rumahnya, “Gue nggak butuh nasehat lo!!” lalu membantingnya dengan kasar. Ken hanya bisa menatap pasrah pada pintu yang dibanting Mandy. Entah sejak kapan Mandy berubah menjadi seperti ini, menjadi seseorang yang tak dikenalnya. Mandy yang sekarang bukan lah Mandy yang dulu. Bukan Mandy yang berkenalan dengannya lima tahun yang lalu, dimana hari itu adalah hari pertama Mandy memulai kehidupan barunya di rumah yang juga baru.

Ken masih ingat banyak kenangan lucu mengenai cewek itu. Bagaimana Mandy terjatuh ke selokan saat pertama kali mengendarai sepeda, bagaimana Mandy membingungkan guru-guru di sekolah karena bahasa indonesia-nya yang sangat berantakan, dan betapa bahagia ekspresi Mandy saat dapat melafalkan satu kalimat panjang dengan bahasa indonesia yang lancar.
Namun, kini wajah ceria gadis itu berganti menjadi wajah muram penuh tekanan. Sorot matanya memancarkan kekecewaan, sekaligus ketakutan. Entar darimana semua itu berasal, satu yang pasti, Ken akan melakukan apa pun untuk mengembalikan keceriaan Mandy.

Hari ini tidak sama seperti hari-hari kemarin, yang tampak pada wajah Mandy bukan lah pelototan tajam, melainkan kepasrahan yang memancar dari bola matanya.
Cewek itu berdiri mematung. Dia menggenggam tiang-tiang pagar dengan kedua tangannya, sedangkan bibirnya bergerak perlahan.

“Kenapa?” Pertanyaan itu menggantung di sudut bibir Mandy. Ken memandangnya penuh heran sekaligus cemas. Wajah Mandy yang putih bersih, kini nampak lebih pucat dari biasanya.
“Kenapa lo dateng ke sini tiap hari? Gue nggak minta kan? Atau karna orang tua gue?” Mandy menyudutkannya dengan serentetan pertanyaan. Belum sempat Ken menjawab, cewek itu sudah berkata-kata lagi.
“Tadi orang tua gue telpon dan gue udah bilang sama mereka kalau gue nggak butuh lagi body-guard atau baby-sitter. Gue udah bukan cewek ingusan yang lo kenal lima tahun lalu.” sahut Mandy
Ken berusaha menanggapi pernyataan Mandy sebijak mungkin. “Lantas lo siapa kalau bukan Mandy yang selama ini gue kenal?”
Mandy tentu bingung ditanyai begitu. Ken memang tidak seperti cowok kebanyakan. Dia berbeda. Mandy pun sadar akan hal itu.

“Gue… Gue udah berubah.” Mandy menjawab tak rela. Tangan Mandy meremas pagar yang sedang digenggamnya. Ken meletakkan tangannya di atas punggung tangan Mandy. Dia berbisik perlahan. “Kalau lo nggak butuh body-guard atau baby-sitter lagi, boleh nggak sekarang gue jadi temen lo aja?” Mandy menatap Ken penuh tanda tanya. 

Ken tersenyum puas melihat Mandy yang kini sedang duduk santai di teras rumahnya. Butuh waktu yang cukup lama dan kesabaran yang tidak terbatas untuk membujuk Mandy agar mau menghabiskan waktu dengannya seperti dulu. Namun kali ini, Ken berperan sebagai seorang teman bagi Mandy.

Ken masuk ke dalam rumah, lalu keluar lagi dengan tangan membawa nampan yang penuh dengan camilan. Dia menyodorkan sepiring fruit cake kepada Mandy yang langsung menggeleng.
“Nggak heran lo jadi kurus gini. Kenapa nggak mau makan sih?” tanya Ken agak kesal.
“Nggak selera.” jawab Mandy, acuh tak acuh. Mandy bersandar pada sebuah kursi yang terbuat dari rotan. Tiba-tiba saja, keringat mulai mengucur dan kepalanya diserang rasa nyeri yang luar biasa.

“Dy, gue penasaran deh. Lo temenan sama siapa aja sih belakangan ini? Dua cowok kurang gizi itu siapa?” Pertanyaan Ken membuat Mandy tersentak.
Namun dia segera menjawab, “Dua cowok kurang gizi itu namanya Dicky dan Stephen. And yeah, they’re my friends.” sahut Mandy. Hatinya berdebar memikirkan pertanyaan yang selanjutnya akan keluar dari mulut Ken.

Ken menatapnya tak percaya. “Kenapa lo bisa temenan sama mereka? To be honest, they look creepy.”
“Long story.” jawab Mandy singkat. Berterus terang kepada Ken sama saja dengan memberi tahu Ken rahasia terburuk dalam sejarah hidupnya.

Ken menghela nafas mendengar jawaban itu. “Sebenernya masih banyak yang mau gue tanyain, but I’ll save it for later.” Mandy hanya mengangguk tak jelas. Dia memejamkan matanya, berusaha mengusir rasa nyeri di kepalanya yang segan berlalu. Namun, suara Ken membuatnya terusik dan kembali membuka mata.

“Ada yang mau lo ceritain nggak? Kalau ada, ngomong aja. Kita temen kan? A true friend listen to what you say and help you solve your problems.” Mata Ken mengerling jenaka.
Mandy menatap Ken sebentar, lalu mulai mencurahkan isi hatinya. Dimulai dengan helaan nafas yang panjang. “Gue capek… Orang tua gue selalu ngomong hal yang sama ditelepon. Gue nggak boleh keluar rumah malem-malem. Gue mesti jaga kesehatan. Gue mesti rajin belajar, dan lain-lain.” Suaranya penuh dengan keluh kesah. Kadang gue nggak ngerti, sebenernya mereka sayang nggak sih sama gue?”

“Itu pertanyaan bodoh.” kata Ken. Mandy yang merasa tak suka dengan jawaban itu, segera menyanggahnya. “Kenapa bodoh? Coba lo pikir deh. Gimana gue bisa tau mereka sayang sama gue, kalau mereka selalu sebut kata-kata sayang itu di telepon? Gimana gue bisa tau mereka perhatian sama gue, kalau mereka nggak pernah ada di sini buat merhatiin gue? Gimana mereka bisa disebut orang tua, kalau mereka nggak pernah sekali pun bertindak selayaknya orang tua?”

“Lo nggak pantes ngomong gitu, Dy. Mereka punya alasan sendiri untuk bertindak seperti itu. Kita nggak pernah tau apa yang dipikirkan dan direncanakan orang lain kan? Karna jalan pikiran setiap orang beda. Begitu pula dengan orang tua lo. Lagipula, mereka ngelakuin ini semua demi kebaikan lo juga. Mereka cari uang buat lo kan? Itu udah menunjukkan tindakan mereka sebagai orang tua.”

Emosi Mandy meledak lagi ketika mendengar perkataan itu. “Apanya yang demi kebaikan gue sih? Nggak semua hal di dunia ini bisa dibeli pake uang! Lagian, lo kira gue seneng tinggal sendirian begini?” tanyanya.
“Lo kira mereka seneng ninggalin lo sendirian?” balas Ken, membuat pintu hati Mandy terketuk. Mandy mengulang kembali kalimat itu dalam memori pikirannya. Ken is absolutely right! Kalau diingat-ingat lagi, Mama selalu meneteskan air mata tiap berpergian jauh. Walau tak sesering Mama, tapi Papa juga terkadang menangis. Sama seperti anak yang merasa kehilangan ditinggal orang tua, orang tua pun juga merasakan hal yang sama. Itu pasti.

Ken perlahan menyentuh bahu Mandy dengan kedua tangannya. Cewek itu kini terlihat amat lemah. Seakan sedikit sentuhan yang tak bersahabat akan membuatnya hancur berkeping-keping. Ditatapnya lekat-lekat bola mata bulat milik Mandy yang terpadu indah dengan warna cokelat muda.
“Dy, elo yang gue kenal dulu, mungkin memang nggak sama seperti lo yang sekarang, tapi itu nggak membuat lo menjadi orang lain. Lo memang berubah. Tapi lo masih punya kesempatan untuk berubah sekali lagi.”

Cewek itu terperangah dengan pandangan penuh kekaguman. Dia tahu kalau Ken terkenal sebagai ‘the wise guy’. Tapi dia tak pernah menyangka kalau perkataan Ken akan menancap tepat di hatinya seperti ini. Berubah sekali lagi? Mandy tak yakin apa dia sanggup melakukannya atau tidak.

Mandy masih tak beralih dari sosok cowok di hadapannya. Dia menyahut pelan dan lemah. “Masa lalu itu indah banget yah? Nggak kayak sekarang.”
“Itu tergantung dari bagaimana cara lo menjalani hidup lo yang sekarang. Apa sama seperti dulu?”
Mandy hanya tertawa kecil.

“Gue nggak tau gimana persisnya jalan hidup lo sekarang. Tapi feeling gue mengatakan, you are in the wrong way. Cuma feeling sih. Hehehe…” Ken memamerkan sederet giginya yang tertata rapi. Mandy tidak sedikit pun tersenyum. Jantungnya berdebar kala menyadari apa yang dikatakan Ken adalah sepenuhnya benar.
“Tapi…” Mimik Ken tiba-tiba kembali serius. “Kalau lo memang berada di jalan yang salah, gue harap lo mau kembali ke jalan yang seharusnya.”
“Eh…Sorry Dy…Maksud gue bukan nuduh lo.” Ken bingung sendiri kenapa dia berkata seperti itu. Entah mengapa, dia punya firasat yang amat buruk terhadap Mandy.

“It’s ok.” Mandy menyekakeringat. Keringatnya bertambah deras. Matanya juga tiba-tiba mengeluarkan air.
“Lo kenapa Dy? Kok nangis?” Ken menyeka air di pipi Mandy.
Refleks, Mandy menepis tangan itu. “I’m fine.”
“Nggak apa-apa gimana? Jangan lo kira gue nggak sadar yah. Lo tambah kurus, muka lo pucet, dan…kenapa lo keringetan gini sih? Lo kepanasan?” Ken memperhatikan cewek itu dengan seksama.

Mandy mendesah. Dia tak punya waktu untuk beradu argumen dengan Ken. Dia harus segera kembali ke rumah sebelum semuanya terlambat. “I just need a little rest, ok?” Sosok Mandy berlalu begitu cepat.

Mandy mengambil langkah seribu menuju ke ruang dapur. Tangannya yang gemetaran menarik laci paling kiri dan mengambil sebuah bungkusan hitam yang berukuran tidak terlalu besar. Dia merobek bungkusnya, lalu merogoh ke bagian dalam. Ditariknya barang itu keluar. Sebuah alat suntik dengan cairan bening ada di dalamnya. Tidak perlu diragukan lagi siapa yang memberikan suntikan itu.

Semuanya berawal dari satu bulan yang lalu. Saat itu Mandy benar-benar sedang down, sehingga Dicky dan Stephen dapat dengan mudah mengajaknya untuk bergabung dengan mereka. Ternyata mereka mengalami hal yang kurang lebih sama dengan Mandy. Merasa senasib, Mandy pun melakukan apa yang mereka lakukan. Mereka merokok. Mandy juga merokok. Mereka menjadi pemakai obat-obatan terlarang. Mandy pun juga. Bodoh memang. Tapi itu lah manusia.

Mandy menatap suntikan itu. Sejenak dia merasa ragu. Jiwanya seakan ingin berpaling, ingin menemukan kembali jalan kebenaran yang dulu adalah miliknya.
Kringg!! Tiba-tiba telepon di ruang keluarga berbunyi. Mandy berjalan terseok-seok ke arah telepon. Tubuhnya sudah benar-benar mati rasa.

“Ya?” sahut Mandy dengan posisi badan tersungkur ke lantai.
“Halo Mandy.” jawab suara di seberang sana. Suara yang anggun, tapi juga keibuan.
“Kenapa Ma? Mau ceramahin aku lagi?” sahutnya kesal. Mandy berusaha menahan rasa sakit yang sudah menyebar ke berbagai tempat.
“Bukan…Bukan itu, sayang. Mama mau ngasih tau kamu kalau pekerjaan Papa masih belum selesai. Jadi kami belum bisa pulang untuk sementara waktu ini. Maaf yah. Kamu kan sudah besar. Mama yakin kamu bisa mengerti.” tutur Mama, membuat Mandy seketika membeku, baik tubuh maupun jiwanya. Hatinya bertanya-tanya. Kenapa Papa dan Mama nggak kembali ke rumah? Apa mereka lupa hari ulang tahunku besok?

Mandy setengah mati menahan tangisannya yang akan pecah. Dia menyahut dengan suara tertahan, “Yeah… Aku memang sudah besar.”
“Tapi bukan berarti aku bisa mengerti semua hal. Orang dewasa tetap butuh didikan dari orang lain, terutama dari orang tuanya!” ucap Mandy geram. Dia menutup telepon dengan kasar. Tak peduli apa lawan bicaranya masih ingin bicara atau tidak.

Mandy berjalan kembali ke dapur. Tangan kurusnya meraih suntikan berisi heroin yang telah dicairkan. Sekarang sudah terlambat. Terlambat untuk menyadari semuanya. Terlambat untuk berubah menjadi seseorang yang baru. Terlebih lagi, terlambat untuk mengakui semua kebohongan dan rahasia ini pada Ken.

Mandy menusukkan jarum pada alat suntikan itu ke tangan kirinya, tepat di pembuluh darahnya. Entah sudah yang ke berapa kali jarum itu masuk ke jaringan tubuhnya. Mandy sudah tak bisa mengingatnya. Hanya ada satu pertanyaan yang terlintas pada pikirannya saat cairan itu mengalir di sekujur tubuhnya.


Bunyi mobil ambulans memekakkan telinga pasangan yang baru turun dari taksi.
Koper berlabel polo diturunkan dari bagasi taksi. Mama menerobos keramaian di depan rumahnya. Hatinya berdebar penasaran. Begitu pula dengan Papa yang mengikutinya dari belakang.

“Tante! Om!” Mereka sama-sama menoleh dan mendapati Ken dengan wajah yang tak karuan. Wanita itu baru akan bertanya, saat petugas ambulans keluar rumahnya dengan menggotong seseorang yang diselimuti kain putih hingga menutup wajahnya.

“Mandy…” Hanya itu yang mampu terucap dari bibir Mama. Air mata mulai menetes dari bola mata cokelat tua nan indah miliknya. Mama mengguncangkan tubuh yang terbaring kaku tak berdaya itu. Papa berusaha menenangkan Mama dengan merangkul bahunya. Ken menatap serba salah pada pasangan itu. Dia baru akan berbicara, saat sebuah suara menghentikan niatnya itu.

“Mama? Papa?” Bersamaan, keduanya menoleh ke sumber suara.
Tampak Mandy bersandar pada pintu depan rumah. Wajah cewek itu sangat pucat. Matanya merah dan bibirnya kehitam-hitaman. Namun, seperti apa pun rupanya, Papa dan Mama tidak bisa menolak untuk tersenyum bahagia sekaligus lega. Melihat Mandy dalam keadaan baik-baik saja adalah hal yang paling mereka inginkan di dunia ini.

“Siapa orang itu,Mandy?” tanya Papa sambil menunjuk ke arah jasad yang sedang dibawa ke mobil ambulans. Mandy melihat ke arah yang ditunjuk Papa. Tidak akan ada lagi Dicky yang membisikkannya dengan rayuan iblis. Dicky sudah meninggal dunia karena kesalahan yang dibuatnya sendiri.
Di sebelah jasad Paul, tampak Stephen menemani sang teman dengan setia.

Mandy memejamkan matanya sebentar. Kejadian tadi masih membuat jiwanya berguncang. Dia menahan nafas sebentar, lalu menghembuskannya. “Pa, Ma… aku harus ngomong sesuatu. Sebenernya selama ini, aku-”
“Ssstt… Kita ngomongnya nanti aja ya, sekarang…” Mama tersenyum lembut, lalu melirik Papa yang segera merogoh sebuah kotak kecil berlilitkan pita merah muda dari saku kemejanya. Diserahkannya kotak itu pada Mandy.

“Happy sweet seventeen, sayang…” sahut mereka bersamaan.
Senyum mengembang dari wajah Mandy bertepatan dengan tangisnya yang memecah.
Di sela-sela tangisnya, dia berkata, “Maafin aku…Maaf karena aku selalu meragukan kasih sayang kalian. Maaf karena aku udah ngecewain kalian. Maaf karena aku udah merusak diriku sendiri. Maaf…Maaf…” Mandy tak kuasa membendung tangisannya.
Mama membuka lebar kedua tangannya. Mandy tahu apa artinya itu.
Sebuah pelukan hangat, dan dia yakin hanya itu yang dibutuhkannya sekarang.

Dari kejauhan, seorang cowok tersenyum bahagia melihat keindahan reuni keluarga itu.
Dia mengangkat kepalanya menatap langit. “Tugasku untuk melindunginya sudah selesai.”
Kini, tak ada lagi kabut hitam yang mengelilingi tubuh Mandy, yang ada hanya lah kilauan cahaya terang yang menawan. So... Do you believe in angels?


by : Ko Anthony :D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar